blog

Sudah Bangkit Kembali Kah Fasisme?

Di dalam mata pelajaran yang kita peroleh semasa sekolah, kita pasti ingat betul bahwa nasionalisme adalah wajib hukumnya bagi setiap warga negara Indonesia, begitu juga dengan semangat patriotisme bangsa, namun semangat patriotisme dan nasionalisme yang membara adalah sebuah obor penyemangat diri, terkadang terbias oleh istilah dan waktu.

Fasisme Perwujudan Nasionalisme dan Patriotisme

Fasisme sebagai perwujudan dari semangat nasionalisme dan patriotisme di antara sanubari setiap warga negara telah dibiaskan menjadi sebuah bentuk ekstrimisme yang terlarang. Kita tahu bahwa fasisme membawa dunia ke dalam konflik paling berdarah yang pernah ada. Perang Dunia Ke 2 yang berlangsung enam tahun lamanya telah merenggut jutaan nyawa di dunia, membakar habis kota-kota besar dan menjadikan dunia ini menjadi wajah yang sekarang ini. Namun bukan berarti bahwa fasisme, yang kalah dalam perang itu, tidak pernah membawa kesejahteraan, kelayakan hidup, pencerahan dan kebahagiaan dalam hidup rakyatnya. Jerman di era 1930an dan 1940an adalah contoh nyata dari semangat fasisme dan sebuah prototipe blue print yang menarik.

 

Jerman yang dilanda krisis berkepanjangan setelah melewati Perang Dunia Pertama (1914-1918) atau yang kita sebut sebagai The Great War, mencapai puncaknya pada dekade tahun 1930an. Harga-harga melambung sampai batas yang tidak dapat ditoleransi. Inflasi membumbung hingga ke angkasa dimana uang mulai dicetak dengan besaran yang luar biasa, awalnya seribuan, ratusan ribu, jutaan bahkan milyaran mark per lembar.

Nazi yang datang dengan semangat fasisme membawa perubahan dalam negara itu. Suatu hal perlu dilakukan dengan cepat, dan itulah yang dilakukan oleh Nazi. Mereka membabat birokrasi yang bertele-tele, memberangus demokrasi yang penuh dengan korupsi dan melakukan reformasi pada sendi kehidupan ekonomi. Dalam Mein Kampf Hitler mengutarakan bahwa negara harus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kegiatan ekonomi dan kekuatan ekonomi itu akan tumbuh dengan cepat di negara yang damai, stabil dan kuat itu.

Fasisme atau di Jerman dikenal dengan Nazi (Nasional Sosialisme) bukan berarti membatasi kegiatan ekonomi rakyatnya atau membuat ekonomi berpusat kepada negara. Nazi mempunyai pemikiran bahwa biarkan politik diatur secara totaliter dan terpusat, namun ekonomi akan dijalankan seluas-luasnya oleh rakyat. Biarkan rakyat yang mengembangkan ekonomi dan biarkan rakyat yang memperkuat ekonomi. Dan dari situlah negara akan memperoleh keuntungan dari kegiatan ekonomi, jual beli, dan pajak. Merek-merek besar Jerman dibesarkan di masa-masa itu. Kita mengenal VolksWagen, Messerschimdt, Mauser, Rheinmetal, Siemens, MAN, Opel, Benz bahkan Porsche. Mereka adalah bayi-bayi yang dibesarkan semasa pemerintahan otoriter.

Dari sebuah negara yang bangkrut dan jatuh di jurang terdalam, Jerman di masa-masa 1930an dengan dukungan Nazi telah menjadi negara dengan kekuatan industri terkuat di dunia. Sebuah kekuatan yang bahkan tidak dapat dibayangkan sepuluh tahun sebelumnya. Transformasi yang hanya berjalan kurang dari 3 tahun (1933-1936) telah menjadikan Jerman kembali menjadi sentral kekuatan di Eropa Tengah dan menjadi negara yang dihormati di Eropa. Sebuah kesuksesan yang tentu tidak mudah untuk diraih. Bahkan oleh negara-negara kuat seperti Amerika Serikat yang juga jatuh dalam resesi ekonomi tahun 1930 (Amerika baru bangkit pada 1941).

Kecepatan dalam pembangunan ekonomi juga merupakan faktor penunjang utama dalam kemajuan Jerman di tahun 1930an. Kecepatan itu hanya bisa diperoleh dengan memotong birokrasi yang tidak perlu, membuang peraturan yang tidak perlu dan mengisinya dengan keputusan yang lebih pasti. Sebuah negara yang jatuh dalam keterpurukan ekonomi yang teramat sangat, membutuhkan sebuah stimulus yang tepat jika tidak mau larut dalam keterpurukan. Pembangunan penunjang kegiatan ekonomi seperti infrastruktur, iklim usaha yang baik, kepastian hukum dan sinergi dengan pemerintah adalah mutlak. Namun yang lebih penting lagi adalah pembangunan ekonomi berlandaskan asas kebangsaan dimana ekonomi dibangun dari sebesar-besarnya akar bangsa sendiri, kekuatan bangsa sendiri, sumber daya bangsa sendiri dan dinikmati oleh bangsa sendiri.

Kekuatan militer sebagai penunjang kedaulatan bangsa juga harus dibangun dengan cara yang tepat. Disesuiakan dengan luas wilayah teritorial, jenis demografi wilayah suatu negara (apakah negara darat, kepulauan, atau perbukitan), dan jumlah penduduk. Sementara itu tidak ada yang namanya penyesuaian dalam segi kualitas. Militer harus diberikan peralatan penunjang terbaik pada masanya, terefisien dan termodern. Tidak ada kompromi di dalam kualitas persenjataan begitu juga dengan kualitas pelatihan dan profesionalitas prajurit. Prajurit harus berada di dalam kondisi yang prima, dengan kata lain, jajaran garis depan dari kekuatan militer haruslah diisi oleh sumber daya manusia yang terbaik, tersehat dan paling sesuai usianya. Dalam hal ini berarti wajib militer dalam sebuah batasan tertentu diperlakukan guna mengisi pos dan satuan tertentu dari suatu bentuk kekuatan militer.

Wajib militer diperlukan oleh setiap negara dengan luas wilayah, potensi ancaman dan sumber daya yang cukup besar untuk dilindungi. Kestabilan adalah hal yang penting untuk dicapai dalam sebuah negara yang ingin melakukan akselerasi dalam pembangunan. Dalam konsep negara fasis, wajib militer selain digunakan untuk tujuan pembangunan negara juga digunakan dalam sarana pembentukan warga masyarakatnya. Wajib militer mempersehat, memperkuat dan juga dapat digunakan sebagai media pembentukan watak, karakter dan pemberian doktrin terhadap pemuda. Fungsionalitasnya dapat diperluas sebagai media penempatan sumber daya manusia pada pos-pos penting sampai pada taraf batasan tertentu

 

Cepat atau lambat, seseorang atau sekelompok manusia dari Bangsa Indonesia pasti akan menyadari bahwa kita perlu benar-benar berdiri tegak di atas kaki kita kembali. Peran semangat nasionalisme dan patriotisme demi negara ini diperlukan sehingga bangsa kita tidak menjadi bangsa yang tidak dapat menjadi tuan di negeri sendiri, bangsa yang terjajah dalam kemerdekaannya atau bangsa yang hanya menjadi pekerja bagi bangsa lain. Di sini saya tidak hanya memperbincangkan kekuatan cengkraman bangsa lain, namun juga kekuatan cengkraman di dalam negeri sendiri. Sekelompok manusia yang kita anggap sebagai bangsa sendiri namun sebenarnya yang mereka lakukan tidak lebih dari memperkaya diri, memperdaya kita untuk menjadi pekerja mereka yang patuh atau memeras keringat kita demi usaha mereka. Dan hal seperti ini adalah berbahaya. Hal semacam ini, peguatan unsur nasionalisme dan patriotisme dalam segi kebangsaan adalah sebuah fasisme. Namun bukan berarti itu salah, jika ada yang salah itu adalah kita sebagai subyek dari pelaksana. Karena sebenarnya, ideologi itu dibangun dengan tujuan mencapai kesejahteraan bersama, kekuatan dan kedamaian.

Apakah Fasisme Sudah Bangkit Kembali?

Pemilihan umum Amerika Serikat di tahun 2016 keluar dengan hasil yang mengejutkan. Donald Trump menjadi Presiden negara adidaya itu mengalahkan Hillary Clinton yang digadang-gadang mampu memperoleh suara lebih besar. Hasil ini tentu mengejutkan bagi sebagian pengamat internasional karena Trump dianggap sebagai tokoh yang kontroversial dan sering mengeluarkan pernyataan tajam. Beberapa pernyataannya seperti kritiknya terhadap imigran Meksiko dan Muslim dianggap rasis dan penuh dengan kebencian. Trumph bahkan sempat mendapat dukungan kelompok-kelompok sayap kanan bawah tanah Amerika yang beraliran ultra nasionalis yang sebelumnya jarang ikut andil dalam kampanye politik.

Tren dunia sekarang ini memang sedang mengarah pada tujuan yang kita tidak dapat prediksi. Putin di Russia semakin mengukuhkan kekuatannya dengan melakukan aneksasi terhadap Krimea. Wilayah yang tadinya merupakan bagian dari negara Ukraina. China sedang gencar melakukan ekspansi ke laut China Selatan karena di sana dianggap sebagai kawasan yang kaya. Pulau-pulau kecil diubah menjadi pangkalan-pangkalan militer, termasuk landasan pacu 3 km yang mampu didarati pembom berat. Dan Eropa sedang dalam dalam krisis kepercayaan diri karena Uni Eropa yang menyokong persatuan negara-negara barat itu sedang berduka setelah Inggris menyatakan diri keluar.

Satu per satu partai sayap kanan Eropa juga mulai melancarkan kampanye pelepasan diri dari EU. Suara mereka meningkat drastis menjelang pemilu yang akan diadakan di Perancis, Jerman, Belanda, dan beberapa negara yang termasuk anggota EU. Salah satu isu yang menjadi senjata utama mereka adalah imigran. Kebijakan EU yang sangat longgar terhadap imigran diangap sebagai sebuah blunder.

Timur tengah sedang dalam keadaan yang tidak lebih menyenangkan daripada beberapa dekade lalu. Dua kubu besar sedang berebut pengaruh di sana. Arab Saudi di sisi pemeluk Sunni dan Iran di sisi pemeluk Syiah. Medan perang mereka luas mulai dari Syiria yang terus hancur lebur hingga ke Yaman. Belum lagi ISIS yang masih marajalela di mana-mana. Turki yang selama ini boleh dianggap salah satu negara timur tengah paling modern dan moderat diantara yang lainnya-pun tidak sedang dalam kondisi baik. Perdana Menteri Erdogan terus mencoba menancapkan kukunya di bekas kekaisaran Ottoman tersebut. Terakhir, ia mencoba membuat referendum yang memungkinkan ia berkuasa dalam jangka waktu yang jauh lebih lama. Referendum tersebut secara mengejutkan berhasil, dan hanya waktu saya yang mampu menjawab kemana arah Turki akan dikendalikan.

 

Di Indonesia sendiri bibit-bibit seperti ini sudah mulai muncul. Mengapa seperti itu? Karena sudah banyak orang yang mengalaminya sendiri. Pada saat satu kelompok orang minoritas merayakan sesuatu dan orang mayoritas tak menyukai nya lagi-lagi orang yang berpikiran terbuka langsung mengomentari tingkah dari orang mayoritas yang di anggap tak baik tersebut. Seperti halnya berkomenatar di media sosial pikirkan itu tidak pantas. Intinya, mereka mengganggap penentuan perayaan kelompok tersebut sebagai hari libur nasional bukanlah sebuah hal yang patut diperdebatkan. Toh perayaan itu terkait erat dengan keagamaan yang mereka anut, dan agama itu sudah diakui oleh undang-undang.

Namun, kini semua seolah berputar seratus delapan puluh derajat. Apalagi ketika pilkada ibukota beberapa saat yang lalu. Isu SARA seoalah menjadi angin segar kembali. Orang tidak lagi tabu untuk menghujat orang lain berdasarkan ras dan agama seseorang. Aksi-aksi demo-pun sering digelar dengan dalih agama mayoritas dan pribumi. Seoalah-olah di Indonesia ini sedang ada perselisihan besar antara agama mayoritas dengan agama minoritas atau ada perselisihan antara pribumi dengan warga keturunan. Sosial mediapun dipenuhi dengan hujatan dan umpatan yang menyudutkan kelompok tertentu. Bahkan mereka yang mencoba membelanya akan ikut mendapatkan hujatan.

Lalu, apa hubungannya SARA dengan fasisme? Fasisme biasanya adalah faham yang membutuhkan kambing hitam untuk memuluskan jalannya. NAZI misalnya mengganggap bahwa Yahudi adalah dalang kemalangan dan kekalahan Jerman selama Perang Dunia 1. Soviet juga menyalahkan kaum borjuis dan menangkapi mereka untuk bekerja paksa di gulag, atau sekedar membunuh mereka. Apakah NAZI dan Soviet adalah Fasisme, meskipun mereka mempunyai sebutan sendiri untuk ideologi mereka? Intinya kedua ideologi tersebut kurang lebih sama, otoritarianisme, pembungkaman kebebasan berpendapat, dan negara yang mempunyai kontrol mutlak terhadap penduduknya.

Namun diatas semua itu, negara-negara fasis selalu mempunyai atau (jika tidak) akan membuat musuh imajiner. Mereka biasanya adalah kaum minoritas, atau kaum tersisih, atau kelompok dari negara dan kepentingan lain. Setiap ada isu SARA berkembang, di situ bibit-bibit opresi mulai muncul. Di tahun 1998, Indonesia pernah menjadi negara yang begitu memalukan. Kaum minoritas seolah didepak dari bumi pertiwi. Untung memang, perilaku keji itu tidak sampai meluas dan berkepanjangan.

Kita tidak tahu apakah Trumph dan Putin bisa dikategorikan sebagai tokoh fasis. Mereka adalah tokoh yang kontroversial, namun kita belum tahu kemana arah kebijakan mereka yang sebenarnya. Dan kita juga tidak tahu apakah fenomena yang muncul di Indonesia adalah sebuah fenomena sesaat atau justru sebuah gunun es. Namun kemunculan tokoh-tokoh dan pemikiran seperti ini patut untuk kita cermati. Tidak terkecuali juga di Indonesia. Puluhan tahun negara ini berada dalam genggaman pemerintahan otoriter dan diktaktor.

Entah sudah berapa korban yang melayang akibat dari opresi pemerintahan kita terdahulu. Sekacau dan sejelek apapun kondisi demokrasi Indonesia sekarang, masih lebih baik kita hidup di iklim yang cukup bebas sekarang ini. Setidaknya, kita dapat berusaha agar suara kita dapat didengar, dan minoritas mampu untuk andil dalam pemerintahan. Semangat nasionalisme dan patriotisme adalah kuncinya.

Most Popular

To Top